Tuhan Tuan Penguasa

Minggu, 18 Februari 2018 20:31:08 1057
Tuhan Tuan Penguasa
Ilustrasi

74 persen lahan di Indonesia dikuasai 0,2 persen penduduknya. Melalui konglomerasi real estate, pertambangan, perkebunan sawit, HPH. Dan 50 persen kekayaan dimiliki 1 persen penduduknya, 70 persen kekayaan dimiliki 10 persen penduduk. Lalu sisa 30 persen kekayaan berada pada 90 persen penduduk Indonesia.

Seperti itulah distribusi kepemilikan tanah dan kekayaan di Indonesia seperti yang dikatakan Duo Datuk, Yusril Ihza Mahendra dan Karni Ilyas. Apakah ini gambaran  kapitalis subur menjamur dan kesenjangan ekonomi terlalu menganga di Republik ini?.

Sila tanyakan ke ekonom Berkeley yang baru di daulat sebagai Menteri Terbaik Sejagad Raya. Yang sukses dengan utang bejibun dan murah hati anggarkan Rp1 Triliun tuk pertemuan IMF di Bali.

Atau, melalui surat terbuka, pertanyaan itu boleh juga diajukan pada paduka Presiden. Saran saya, surat terbuka yang benar-benar sebuah pertanyaan, dan pada setiap akhir kalimatnya pastikan tidak ketinggalan menggunakan tanda tanya. Sebab, jika bukan pertanyaan, bully atau di bui menanti. Berat. Biar Zaadit dan saya saja. 

Lalu, dalam hiruk-pikuk pilkada sekarang apakah secuil penduduk yang kaya raya ini zuhud politik dan mengurung diri dalam kelambu di surau-surau suluk?. Atau malah jadi induk semang?. Kemungkinan terakhir ini bisa diuji. 

Sedikit gambaran harta kekayaan akumulasi tiap-tiap paslon pada kontestasi pemilihan gubernur Riau. Paslon urut satu Rp 18 M, urut dua Rp 10 M, urut tiga Rp 18 M dan urut empat Rp 154 M. Itu yang terkonfirmasi.

Padahal, ongkos politik teramat mahal. Berdasarkan kajian Idir Akbar dosen Ilmu Pemerintahan pada Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad, untuk tingkat Provinsi satu paslon bisa menghabiskan Rp 100 M termasuk tuk kampanye. Luar biasa besar. Itu baru provinsi sekelas Bangka Belitung.

Meskipun tiap provinsi ada pembatasan maksimal biaya kampanye. Di Riau Rp 22,5 Miliar. Yang berasal dari sumbangan pribadi paling banyak Rp 75 juta dan Rp 750 juta dari Badan Hukum. Normatif. 

Pertanyaannya, dari mana sumber pembiayaan para kontestan di pilkada ini yang bisa menghabiskan ratusan miliar?. Padahal jumlah gaji, tunjangan, beserta insentif gubri dan wakilnya jika terpilih, selama 5 tahun tak lebih Rp30 M. Atau mereka mau berutang puluhan miliar usai menjabat. Hebat nian. 

Pembiayaannya dari induk semang lah yang paling memungkinkan, kalau tidak mau disebut pasti. Ikut andilnya induk semang dengan biaya yang mereka tanamkan itu baru akan terlihat dan dirasa saat hutan-hutan kita sudah disulap menjadi hamparan kebun sawit dan Hutan Tanaman Industri sejauh mata memandang. Izin 10 ribu hektare, mereka sungka 12 ribu hektare. Itu yang masih baik hati.

Kebun karet, sumber penghidupan orang kampung sejak zaman belanda yang dibawah tanahnya mengandung emas hitam di beli murah dengan cara halus, jika tidak, intimidasipun menjadi halal. Atau, tiba-tiba saja berdiri bangunan pencakar langit di pusat kota yang lalu lintasnya padat merayap. Aturan dilabrak diatas stempel pengecualian. 

Mengadu ke sang penguasa yang dengan kuasanya kita tumpukan harap. Boleh lah di coba. Namun ingat, penguasa ini punya tuan yang disembah setelah tuhan. Tuan dari penguasa yang satu rupiah haram uangnya tak berbalas keuntungan berlipat.

Persekongkolan konglomerasi global tidak memiliki batas wilayah administratif, mencipta dan memelihara sistim pemilihan pemimpin berongkos mahal. Mereka berinvestasi jangka panjang. Lalu menguras kekayaan dengan tamak. Namun kita lah yang menanggung beban hingga anak cucu.

Apa memang kita lemah, tidak berdaya dan kekurangan pemikir yang bisa membuat suksesi pemilihan pemimpin di negeri ini dengan biaya seminimal mungkin? Rasanya tidak. Tapi memang tampaknya harus ada ruqyah massal agar mantra-mantra dari induk semang, cukong, toke atau hantu belau apapun lah namanya keluar dari tubuh-tubuh kita. 

Oleh : Alwira Fanzary
           OKP Lingkar Anak Negeri Riau
 

KOMENTAR