Begini Upaya Mereka Cegah Bencana di Wilayah Karst Gunung Kidul

 

 

Sinar matahari menembus celah dedaunan Jati di Watu Payung, Dukuh Turunan, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta, Kamis, awal April lalu.  Tanah basah. Bibit buah baru tanam, tiap pohon berjarak sekitar dua meter.

Menuju kesana, saya melewati hutan lindung Yogyakarta. Pepohonan lebat diselingi gemericik air sungai-sungai kecil. Hari itu, ratusan warga Desa Girisuko mencanangkan tanam dan pelihara pohon. Lokasi di Geoforest Turunan, ujung barat Geopark Gunung Kidul. Mereka sedang mitigasi berbasis lahan karst, daerah aliran sungai (DAS) kritis dan kawasan konservasi.

“Hutan lebih baik harapan kami, ekonomi dan kesejahteraan membaik, budaya terjaga, wisata berkembang dan terhindar dari bencana,” kata Sugianto, Kepala Dusun Turunan.

Suara alunan musik kulintang mengiringi anak-anak berkesenian tradisional Kuda Lumping. Berjarak 100-an meter dari lokasi mereka, puluhan pengujung berfoto di pinggir tebing karst. Bentangan perbukitan karst dan Sungai Olo jadi latar.

Gunawan, Camat Kecamatan Panggang mengatakan, potensi Watu Payung ada air terjun Banyu Nibo, Goa Jodo dan Goa Pertapan kelolaan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).  Ada potensi lain, pemandangan alam, Sungai Oyo, goa, hutan hijau dan kesenian budaya tradisional.

“Warga menjual jasa lingkungan dan alam yang terjaga untuk meningkatkan perekonomian,” katanya.

Subagiyo, Ketua Pokdarwis Desa Girisuko mengatakan, mereka lakukan pembibitan, penanaman hingga pemeliharaan. Akhirnya 2007, kelompok dapat izin pengelolaan hutan. “Hutan kami kelola berstatus lindung, tak bisa memanen kayu.”

Kondisi ini memacu mereka belajar ke Kali Biru, Kulon Progo. Belajar mengelola hutan dan mengambil keuntungan dari jasa lingkungan.  Hingga akhir 2013, Pokdarwis terbentuk. Tahun bersamaan, wilayah kelola mereka masuk program Unesco, sebagai Geopark Gunung Kidul, Geoforest Turunan.

“Manfaat itu perlahan dirasakan, peningkatan perekonomian tak hanya didapat kelompok tani, semua warga desa,” katanya.

Sudaryanto, Project Officer Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) mengatakan, aktivitas di Watu Payung dan Gunung Kidul merupakan bagian percontohan mitigasi bencana dan perubahan iklim kawasan karst.

Dia bilang, ada dua kegiatan, pertama, mengangkat air pakai energi surya di  Dusun Banyumeneng II, Desa Giriharjo, Kabupaten Gukung Kidul. Kedua,  mitigasi berbasis lahan, DAS Kritis dan kawasan konservasi.

 

Kesenian jathilan oleh warga Watu Payung Panggang, Gunung Kidul. Mereka menampilkan kesenian ini kepada para pengunjung Geoforest Turunan. Foto: Tommy Apriando

 

Pemilihan kawasan itu, karena karst memproduksi karbon cukup besar. Perusakan karst, pembakaran hutan, lepas banyak karbon.

“Tak banyak masyarakat paham bentang alam karst harus dilindungi, tersimpan banyak air. Penanaman pohon mengurangi emisi gas rumah kaca. Pohon ditanam bisa mensejahterakan warga, desa wisata nyaman, warga ambil manfaat dari kelestarian hutan,” ucap Sudaryanto.

Program di karst Gunung Kidul ini percontohan tingkat kabupaten bahkan nasional. Kegiatan ini, katanya, sinergi dengan komitmen Presiden Joko Widodo, kurangi 29% emisi karbon 2030.

 

Rawan bencana

Immawan Wahyudi,  Wakil Bupati Gunung Kidul, mengatakan, mitigasi perubahan iklim dan bencana sangat penting. Gunung kidul masih memiliki sejumlah wilayah rawan bencana alam cukup tinggi, seperti kekeringan, tanah longsor, hingga angin kencang.

Zona utara Gunung Kidul memiliki kerawanan tinggi terhadap longsor, yakni Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen dan Semin. Longsor di Desa Sambirejo, Ngawen,  beberapa waktu lalu menelan korban jiwa.

Zona selatan, katanya,  rawan kekeringan karena lahan kritis, dan belum tertangani optimal. “Mitigasi bencana ini memiliki korelasi tepat mengembalikan kualitas lahan-lahan dan DAS kritis di Gunung Kidul,” katanya.

Dia berharap, kegiatan di sembilan kecamatan bisa mengurangi lahan-lahan kritis, menjadi lebih hijau, subur dan memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi petani.

Rohni Sanyoto, Direktur Eksekutif Yayasan Javlec Indonesia mengatakan, mitigasi berbasis lahan pada kawasan karst, daerah konservasi, DA  yang masuk prioritas tinggi tanggap risiko perubahan iklim ini mengintervensi 20 desa. Ia mencakup sembilan kecamatan, yakni Ngipar, Patuk, Playen, Semanu, Saptosari, Tepus, Girisubo, Panggang, dan Paliyan, dengan lahan 3.293,72 hektar.

Hegiatannya, katanya, selain fasilitasi pemupukan, bersama kelompok tani menyusun rencana desa dan tata ruang. Kelompok petani hutan membuat rencana kelola hutan.  “Ada enam kelompok disahkan KPH Yogyakarta sebagai percontohan,” kata Rohni.

Ada 20 desa terpilih jadi percontohan dalam pengelolaan mitigasi perubahan iklim tingkat kabupaten maupun nasional. Kegiatan fokus upaya pengelolaan hutan, tata ruang desa, RPJMDes dan kebijakan memberikan dampak positif perbaikan ekonomi masyarakat, pembangunan desa serta peningkatan kapasitas lingkungan hidup.

Pada perhitungan awal,  cadangan karbon pada 20 desa, menunjukkan cadangan 31,04 ton per hektar. “Artinya di bawah standar cadangan karbon ideal, kisaran 35-100 ton per hektar.”

Dengan pengayaan 88.8000 tanaman buah dan kayu pada 20 desa ini, katanya,  diharapkan mencapai pertumbuhan cadangan karbon ideal.

Adapun bibit meliputi tanaman kayu 26.690 (jati, sengon, akasia, gmelia, jabon, kayu Afrika); tanaman buah 39.810 yakni durian, sawo, mangga, kelengkeng, jambu, alpokat, kemiri, asam, petai, kako, aren, jeruk dan matoa. Lalu, tanaman pelindung 900 seperti kaliandra, cemara dan beringin. Usaha penanaman ini mampu menurunkan emisi 64.797,51 ton CO2e pada tahun ke-10.

“Luasan pengelolaan hutan 3.160 hektar terdiri dari hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, HTR dan hutan desa didapatkan rata-rata penurunan emisi 600.921,52 ton Co,e atau 190,17 ton CO2e per hektar.”

Selain penamanan, juga pendampingan penataan tata ruang desa dengan memfasilitasi desa-desa membangun kerangka dasar pembangunan dengan pola ruang.

Pendampingan prioritas pada enam desa yakni, Desa Balong-Kecamatan Girisubo, Dengok-Kecamatan Klaten, Candirejo-Kecamatan Semanu, Kepek-Kecamatan Saptosari, Getas-Kecamatan Playen, dan Katongan-Kecamatan Nglipar.

Dia berharap,  pemerintah daerah berperan aktif dalam mitigasi perubahan iklim, dan masyarakat menjaga serta merawat bibit guna membawa dampak baik bagi perbaikan karst, lahan dan DAS kritis.

 

Pepohonan jati di Hutan lindung Yogyakarta. Foto: Tommy Apriando

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,